Akhirnya Terungkap! Siasat Baru Putri Candrawathi Hindari Hukuman, Reza Indragiri: Dia Gunakan Komnas HAM
Lagu lama dugaan mengalami pelecehan seksual, masih terus diputar oleh Putri Candrawathi, tersangka dalam kasus pembunuhan Brigadir J.
Meski disebut-sebut tidak memiliki mindset sebagai korban pelecehan, sepertinya Putri Candrawathi masih akan mempertahankan skenario lama itu.
Sampai dengan saat rekonstruksi dilakukan pun, Putri Candrawathi sepertinya masih ingin mempertahankan skenario pelecehan, yang sebelumnya disebut terjadi di Duren Tiga, tapi kemudian pindah ke Magelang.
Walau telah dianggap tidak masuk akal oleh publik dan laporan polisi (LP) yang sebelumnya telah dibuat oleh istri Ferdy Sambo ini telah dicabut, namun sikap yang ditunjukkan Putri Candrawathi seolah tidak peduli dengan semua hal itu.
Merasa mendapatkan dukungan dari Komnas HAM dan Komnas Perempuan, dengan anggunnya dia tampil melakukan rekonstruksi, ditemani tas branded merk Gucci, tanpa terlihat adanya perasaan bersalah sedikit pun.
Apa yang ditampilkan istri Ferdy Sambo ini di hadapan publik, tidak hanya menjadi sorotan, namun juga mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak.
Tidak terkecuali ahli psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, yang menyebut jika Putri Candrawathi ini tidak memiliki mindset sebagai korban pelecehan seksual.
Sebagaimana yang dikutip dari kanal YouTube TVOne, Psikolog Forensik Reza Indragiri Amriel menjelaskan bahwa jika benar Putri Candrawathi adalah korban pelecehan seksual , maka dia memang berhak mendapatkan restitusi dan kompensasi.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku, restitusi dan kompensasi dapat diberikan kepada korban, jika pelaku pelecehan seksual divonis bersalah.
Akan tetapi, dalam kasus ini, Putri Candrawathi tidak mungkin lagi diberikan restitusi dan kompensasi sebab orang yang dituduh melakukan pelecehan seksual terhadapnya, telah meninggal dunia.
Jadi sebenarnya sudah tidak ada manfaat lagi yang akan diperolehnya, meski kerap “menyanyikan lagu” yang sama tentang pelecehan seksual.
"Kalau memang PC ini korban kekerasan seksual, maka menurut peraturan, dia ini berhak untuk mendapatkan restitusi dan kompensasi. Tapi ada syaratnya. Restitusi dan kompensasi mensyaratkan bahwa pelaku divonis bersalah," ucap Reza Indragiri.
Dijelaskan bahwa karena mendiang Brigadir J sudah tidak ada, maka praktis tidak akan ada persidangan.
Jika persidangan tidak ada, maka praktis tidak akan ada juga orang yang bisa divonis bersalah.
Dan apabila tidak ada rang yang divonis bersalah, maka niscaya tidak akan ada restitusi dan kompensasi.
"Jadi apa pula manfaatnya bagi PC mengutarakan atau mengangkat kembali narasi itu, dengan memakai Komnas HAM dan Komnas Perempuan, sebagai perpanjangan lidahnya?" imbuhnya.
Reza Indragiri menilai bahwa bisa saja, manfaat yang sebenarnya dicari oleh Putri Candrawathi dari "menyanyikan lagu lama," tentang pelecehan seksual ini, ada kaitannya dengan ancaman hukuman yang dia terima.
Ya, seperti yang kita ketahui, sebagai tersangka yang terlibat dalam pembunuhan berencana terhadap Brigadir J, istri Ferdy Sambo ini juga terancam dijerat dengan Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana.
Di mana ancaman maksimal dari hukuman dalam pasal tersebut adalah hukuman mati, atau sekurang-kurangnya seumur hidup, atau maksimal 20 tahun penjara.
"Saya berpikir, oh ini ada manfaatnya bagi PC. PC ini kan terancam hukuman mati, ya. Pasal 340 hukuman mati, atau hukuman seumur hidup, atau hukuman 20 tahun penjara. Tidak ada lagi jalan untuk berkelit, kecuali dengan satu siasat saja. Mengklaim bahwa ‘saya’ (Putri Candrawathi) adalah korban," ungkap Reza Indragiri, dikutip oleh Teras Gorontalo dari kanal YouTube TVOne, Kamis, 8 September 2022.
Menurutnya, hal ini sama saja dengan mengatakan kepada publik, bahwa tindakan mereka membunuh Brigadir J dan merancang skenario pembunuhan berencana, tak lain dan tak bukan karena berawal dari peristiwa yang menjadikan dia (Putri Candrawathi) sebagai korban.
"Jadi anggaplah ada kejahatan yang sudah kami lakukan, yaitu pembunuhan berencana, tapi tak lain dan tak bukan, pembunuhan berencana ini bertitik mula dari status saya sebagai korban. Kurang lebih seperti itulah, kalau dinarasikan," imbuhnya.
Reza Indragiri berpendapat bahwa siasat yang dimainkan oleh istri Ferdy Sambo ini adalah ironi viktimisasi.
Maksudnya di sini, seorang pelaku ingin menggeser posisinya, dengan cara mempengaruhi opini publik, dan mungkin juga sekaligus penegak hukum serta majelis hakim, bahwa dia bukanlah pelaku, melainkan korban.
"Seorang pelaku, berusaha menggeser dirinya, untuk mempengaruhi opini publik, barangkali juga untuk mempengaruhi otoritas penegakkan hukum, dan majelis hakim, bahwa dia bukanlah pelaku, tapi adalah korban," kata Reza Indragiri.
"Ironi viktimisasi ini, yang dimainkan sekarang adalah dengan mengklaim sebagai korban," lanjutnya, menambahkan.
Sebagai seorang psikolog, dia merasa tidak yakin dengan cerita yang beredar, terkait peristiwa pelecehan seksual yang dialami Putri Candrawathi tersebut.
Menurutnya, sangat sulit untuk diterima oleh akal sehat ketika ada seorang predator yang memilih melakukan aksi kekerasan seksual di TKP yang bukan merupakan zona pemangsaan dia.
Dia menilai bahwa, TKP yang disebutkan dalam kasus ini, seperti di Duren Tiga dan kediaman keluarga Ferdy Sambo di Malang, tidak dapat dikatakan sebagai zona pemangsaan yang ideal, jika akan melakukan kekerasan seksual.
Sebab sudah tentu lokasi tersebut tidak dikuasai dengan baik oleh terduga pelaku kekerasan seksual, dalam hal ini Brigadir J, dan apalagi itu merupakan rumah dari atasannya sendiri.
Tidak hanya itu, dia juga menjelaskan bahwa tindak-tanduk yang ditunjukkan oleh Putri Candrawathi, baik itu perbuatan maupun perkataan, justru telah menganulir klaim tersebut.
Sebagai contoh ketika dia pertama kali menunjukkan diri di depan Mako Brimob, untuk mengunjungi suaminya yang tengah ditahan.
Menurut Reza Indragiri, jika mengacu pada undang-undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual), sudah sangat jelas disampaikan bahwa seorang korban harus ditutupi identitasnya, harus dirahasiakan.
Tapi apa yang terjadi di depan Mako Brimob, justru tidak sesuai dengan apa yang tertera dalam undang-undang TPKS.
Tidak hanya muncul dan berbicara kepada awak media, namun istri Ferdy Sambo bahkan dengan tenangnya menyebut namanya sendiri.
"Ini kan aneh. Orang yang mengklaim dirinya sebagai korban. Lalu kita anggap dia sebagai orang yang terguncang, tapi pada saat yang sama dia melanggar undang-undang, dengan membuka identitasnya, dia sebut namanya. Kalimat pertama yang keluar adalah dia perkenalkan namanya. Kenapa ya, kok tindak-tanduknya jadi tidak seperti korban, padahal klaimnya korban?" tuturnya.
"Menurut saya karena tidak punya mindset sebagai korban. Kenapa tidak punya mindset sebagai korban? Yak arena bukan korban," sambung Reza Indragiri, menegaskan penjelasannya, yang dikutip oleh Teras Gorontalo dari kanal YouTube TVOne.
Sesuai Riset, 80 Persen Korban Pelecehan Alami Guncangan Hebat
Sebelumnya, dilansir dari kanal YouTube Refly Harun, klaim istri Ferdy Sambo yang masih bersikeras menyebutkan adanya tindak pelecehan seksual ini, sudah pernah diartikan berbeda oleh Reza Indragiri.
Penilaiannya ini, didasarkan pada perbandingan beberapa momen Putri Candrawathi, yang membuatnya yakin bahwa dokter gigi itu tidak memiliki mindset sebagai korban.
Sedangkan untuk Brigadir J sendiri, jika menilik pada relasi kuasa antar-pihak, dinilai Reza Indragiri tidak memenuhi profil sebagai pelaku.
"Persoalannya adalah, dengan segala hormat, tindak-tanduk PC acapkali terkesan menganulir klaim yang bersangkutan sebagai korban," ucapnya.
Untuk memperkuat pendapatnya ini, Reza Indragiri lantas membandingkan dua momen Putri Candrawathi.
"Misal, mari kita bandingkan tindak-tanduk kemunculan beliau ketika berada di depan Mako Brimob. UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual ) sudah mengatur bahwa identitas korban wajib dirahasiakan. Apa yang bisa kita pahami?" terangnya
Hal ini menurutnya sangat janggal untuk dilakukan oleh seseorang yang mengklaim dirinya telah mengalami tindakan pelecehan seksual.
Apalagi di sini, Putri Candrawathi bersikeras bahwa dirinya adalah korban dari pelecehan seksual, tapi anehnya di saat yang bersamaan, dia muncul ke hadapan publik, bahkan sempat berbicara kepada awak media dan menyebutkan namanya sendiri.
"Tindak tanduk yang jauh dari profil korban macam itu, memunculkan pertanyaan, kenapa ada kesenjangan sedemikian rupa? Barangkali jawabannya yang bersangkutan tidak punya mindset sebagai korban. Kenapa? Barangkali yang bersangkutan memang bukan korban," ungkap Reza Indragiri, dikutip langsung oleh Teras Gorontalo dari kanal YouTube Refly Harun, Kamis, 1 September 2022.
Tak hanya itu, dia juga membandingkan sikap istri Ferdy Sambo ini, dengan hasil riset yang ditemukan oleh ilmuwan.
Dalam hasil riset tersebut, disebutkan bahwa sebanyak 80 persen akan mengalami dampak guncangan yang luar biasa, jika menjadi korban pelecehan seksual.
Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan indikator korban kecelakaan lalu lintas, yang hanya mencapai angka 15 persen.
"Kekerasan Seksual dianggap sebagai kejahatan yang serius, salah satu indikatornya 80 persen akan mengalami guncangan hebat, bandingkan korban kecelakaan lalu lintas yang hanya 15 persen saja," jelas Reza Indragiri.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dia menjelaskan bahwa akan sangat masuk di akal jika korban memilih untuk mengisolasi dirinya.
Akan tetapi, hal berbeda justru dilakukan oleh Putri Candrawathi, di mana dirinya malah justru dipersilakan untuk tampil di depan media.
"Tapi lagi-lagi, ada kekontrasan antara tindak tanduk PC yang kita anggap sebagai korban, yang sewajarnya memilih mengisolasi diri, justru dipersilakan tampil di hadapan media," imbuhnya.
Sikap Putri Candrawathi inilah kemudian dinilai olehnya sebagai tindakan seseorang yang tidak memiliki mindset sebagai korban.
"Tindak tanduk seperti itu, memunculkan kesan tidak ada mindset sebagai korban, karena barangkali yang bersangkutan memang bukan korban," tegas Reza Indragiri.
Adapun terkait dugaan pelecehan seksual ini, menurutnya, jika memang benar terjadi, tidak patut untuk langsung di apriori, apalagi jika didasarkan pada teori relasi kuasa.
"Pelakunya siapa, korbannya siapa? Tidak patut bagi kita untuk apriori, misalnya dengan membabi buta, menggunakan teori relasi kuasa untuk mengatakan peristiwa pelecehan seksual, pasti laki-laki sebagai pelakunya dan perempuan pasti korbannya," katanya.
Lebih lanjut lagi, dia menyebutkan jika masih menggunakan teori relasi kuasa, itu bisa ditakar.
"Baik itu di Duren Tiga maupun di Magelang, yang notabene merupakan rumah komandan, kira-kira siapa yang dominan, siapa yang submisiv, siapa yang berkuasa siapa yang dikuasai, siapa yang superior dan siapa yang inferior?" ujarnya.
Dia pun menegaskan kembali jika diterapkan teori relasi kuasa tersebut, maka Brigadir J tidak sesuai untuk menjadi pihak yang dominan.
Oleh karena itu, dia berpendapat bahwa pihak kepolisian perlu untuk melakukan uji ulang terhadap hal tersebut.
"Hitung-hitungan di atas kertas, menurut saya, ekali lagi, andai diterapkan teori relasi kuasa, Brigadir J bukanlah pihak yang dominan, berkuasa, superior, bukan pihak yang memenuhi profil sebagai pelaku kekerasan seksual. Tentu tetap harus diuji oleh pihak kepolisian," pungkas Reza Indragiri.***