Akibat Ulah 'Raja Sambo', Polri Akhirnya Diusulkan di Bawah Naungan Salah Satu dari 3 Kementerian
Akibat ulah Ferdy Sambo, kini Polri diusulkan di Bawah Kementerian.
Bukan rahasia jika ada kelompok-kelompok di internal Polri yang akhirnya membuat Polri tidak sinergis.
Hal ini dikatakan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
Mantan Hakim MK tersebut mengatakan, perlu ada pembenahan di tubuh Polri agar terjadi kesatuan sebagai sebuah institusi pemerintah di bidang keamanan.
Mahfud MD juga mengungkap adanya tarik menarik di internal Polri sebelum Irjen Ferdy Sambo ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Pol Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
Apalagi bukan rahasia jika ada kelompok-kelompok di internal Polri yang akhirnya membuat Polri tidak sinergis.
Hal tersebut disampaikan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD dalam YouTube Akbar Faisal, Rabu (17/8/2022).
“Dan itu biasanya ya dibekingi atau dilatarbelakangi oleh kelompok-kelompok kepentingan, ini ngurus, ini harus gini gitu, itu ramelah kalau di Polri, tapi ya itu sebenarnya menurut saya ada reformasi internal dan terbatas,” ujar Mahfud MD.
“Karena kalau bicara reformasi yang sekarang ini rame ya, saya harus sebut sumber biar tidak dikira saya nyebar hoax, yang sudah lama rame itu supaya polisi itu diletakkan di bawah satu Kementerian,"ujarnya.
Mahfud mengatakan ia mendengar adanya usulan agar Polri berada di bawah Kejaksaan Agung, Kementerian Dalam Negeri, hingga Kemenkumham. Ia menyampaikan pengusul tersebut adalah Duta Besar Indonesia di Filipina Agus Widjojo.
“Itu sudah lama sebenarnya kita di Lemhanas sudah bicara itu terus, nah ada yang usul itu dan itu banyak disambut oleh masyarakat, jadi letakkanlah di bawah Kejaksaan Agung kepolisian itu atau di bawah Kementerian Dalam Negeri atau dibawah Menkumham,” kata Mahfud MD.
“Seperti TNI di bawah Menteri Pertahanan kan, nah kan di Polri itu pengatur kebijakan dan pelaksanaannya ada di satu institusi, pembuat policy-nya, nah ada yang bilang, anu aja kalau gitu, diangkat aja seorang menteri senior menjadi menteri keamanan sebagai partnernya Menteri Pertahanan.”
Tapi menurut Mahfud MD, hal tersebut sulit dan lama karena ranjau-ranjaunya banyak.
“Ranjau ranjaunya banyak, sudahlah internal kayak gitu tadi, restruktur reformasi sendiri tapi kita pintu (tutup),” ujarnya.
"Kerajaan" di Tubuh Polri
Mahfud MD juga mengatakan ada Kerajaan Ferdy Sambo di dalam institusi polri.
Kerajaan Ferdy Sambo ini, kata Mahfud MD, seperti Sub-Mabes dan sangat berkuasa di institusi Polri. Sehingga saat kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat diselidiki banyak sekali hambatan-hambatannya.
“Yang jelas ada hambatan hambatan di dalam secara struktural ya karena ini tidak bisa dipungkiri, ini ada kelompok Sambo sendiri nih yang seperti menjadi kerajaan Polri sendiri di dalamnya, seperti Sub-Mabes yang berkuasa.”
“Dan ini yang menghalang-halangi sebenarnya, kelompok ini yang jumlahnya 31 orang itu, yang sekarang udah ditahan.”
Memahami adanya hambatan secara structural di internal Polri. Mahfud MD mengatakan, telah menyampaikan kepada Kapolri untuk segera menyelesaikan persoalan ini.
“Ya, Saya sudah sampaikan ke Polri dan apa Ini harus selesaikan,” ujarnya.
Apalagi dalam pembunuhan Brigadir J dengan tersangka utama Irjen Ferdy Sambo, Mahfud MD mengatakan ada 3 klaster.
“Satu, pelaku yang merencanakan dan mengeksekusi langsung, nah ini yang kena tadi pasal pembunuhan berencana karena dia ikut melakukan, ikut merencanakan, dan ikut memberi pengamanan di situ,” ucap Mahfud MD.
Lalu klaster kedua adalah, klaster obstruction of Justice. Pihak-pihak dalam klaster ini tidak ikut dalam eksekusi tewasnya Brigadir J.
“Tetapi karena merasa Sambo, (pihak) ini bekerja nih, bagian obstruction of Justice ini membuang barang ini, membuat rilis palsu dan macam-macam, ini tidak ikut melakukan,” ujar Mahfud MD.
“Nah menurut saya kelompok 1 dan 2 ini tidak bisa kalau tidak dipidana ya, kalau yang ini tadi karena melakukan dan merencanakan, yang obstruction of Justice yang menghalang-halangi penyidikan itu, memberi keterangan palsu, membuang barang, mengganti kunci, mengganti barang bukti, memanipulasi hasil autopsi, nah itu bagian obstruction of Justice.”
Kemudian klaster ketiga ini, lanjut Mahfud MD, adalah orang yang hanya ikut-ikutan.
“Kasihan ini, karena jaga di situ kan, terus di situ ada laporan harus diteruskan, dia teruskan, padahal laporannya ndak bener, prosedur jalan, diperintahkan ke sana jalan, suruh buat ini ngetik, ngetik,” jelas Mahfud.
“Nah itu bagian yang pelanggaran etik, saya berpikir yang harus dihukum tuh dua kelompok pertama yang kecil-kecil ini, yang hanya ngetik hanya mengantarkan surat, menjelaskan bahwa Bapak tidak ada, memang nggak ada yang begitu, ndak usah hukuman pidana cukup disiplin.”
Ada Grup Sambo dari Daerah-daerah ke Jakarta untuk Bantu Hilangkan Jejak dan Halangi Penyidikan
Mahfud MD juga mengungkap adanya tarik menarik di internal Polri sebelum Irjen Ferdy Sambo ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir Pol Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
“Ketika akan pecah telurnya itu kan sebenarnya sudah ada keyakinan tiga atau dua hari sebelumnya ya, tapi kok lambat terus ini,” kata Mahfud.
“Yang saya dengar di Polri memang terjadi tarik menarik.”
Bukan hanya tarik menarik di internal Polri, Mahfud MD juga membongkar adanya sejumlah pihak yang datang dari daerah-daerah mengawal Ferdy Sambo.
Sejumlah pihak ini, digambarkan Mahfud berupaya untuk menghilangkan jejak-jejak yang dilakukan Irjen Ferdy Sambo terkait pembunuhan Brigadir J.
Tidak hanya menghilangkan, sejumlah pihak ini juga menghalangi penyidikan yang dilakukan Polri.
“Grupnya Sambo itu, konon dari daerah-daerah, meski pun ndak ada tugas di Jakarta datang ngawal ke situ, upaya menghilangkan jejak itu dan menghalang-halangi penyidikan,” ungkap Mahfud.
Perkembangan kasus ini dibaca oleh Presiden Jokowi lambat ditangani.
Mahfud mengatakan, Presiden Jokowi menginginkan penyelesaian kasus tewasnya Brigadir J dapat cepat diselesaikan, tentunya dengan mengungkap secara terang benderang.
Presiden Jokowi, sambung Mahfud kemudian memanggil Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ke Istana. "Diberi tahu supaya diselesaikan,” ucap Mahfud.
Setelah pertemuan Presiden Jokowi dengan Kapolri, kemudian Mahfud gantian menghadap bersama Pramono Anung.
“Jadi ada petunjuk, semula bicara soal hak asasi manusia, terus, ada petunjuk Pak? Iya (Presiden Jokowi kepada Mahfud -red), itu soal Kapolri kenapa lama-lama,” kata Mahfud.
“Sampaikan kepada Kapolri, bahwa saya percaya kepada Kapolri bisa menyelesaikan ini masalah sederhana kok, kaya gitu, tapi jangan lama-lama, segera diumumkan.”
Kemudian, amanat Presiden Jokowi itu diceritakan Mahfud MD kepada Kapolri selepas bertemu Presiden Jokowi.
“Terus tengah malam, Kapolri WA saya, Pak Menko alhamdulillah ini sudah terang benderang semua dan sudah ketemu, itu hari Senin malam kan Selasa malam diumumkan,” ujar Mahfud.
“Karena saya sorenya (Senin sore) kirim pesan (ke Kapolri), Presiden ini saya loh, saya bilang.”
Mahfud menambahkan, dalam pesan WA-nya, Kapolri Jenderal Sigit juga menyampaikan akan mengumumkan penetapan Ferdy Sambo sebagai tersangka pada hari Selasa.
“Pak Menko sudah beres semua, sudah terang benderang, sudah sesuai petunjuk Presiden, besok kami jumpa pers, kami yang umumkan,” kata Mahfud menceritakan isi pesan Kapolri.
“Makanya paginya saya cuit agar tidak mundur lagi, saya cuit, ‘alhamdulillah selesai nanti Kapolri mengumumkan, kan kalau sudah terkomunikasi ke publik dan saya katakan itu dari Kapolri kan yang mau mengganggu tidak berani lagi.”